banner 120x600

Gubernur Kalbar Dorong Percepatan Pembuatan Perda Hutan Adat

banner 120x600

Sanggau,  BorneoneTV. Gubernur  Kalbar. H .Sutarmidji mengatakan realisasi perizinan perhutanan sosial yang telah terbit di Provinsi Kalbar salah satu yang perlu didorong adalah terkait hutan adat. Kendala yang dihadapi dalam penentuan hukum adat adalah mengharuskan adanya produk hukum daerah yang mengakui maayarakat hukum adat tersebut yaitu berupa Peraturan Daerah untuk hutan adat yang berada dalam kawasan hutan dan peraturan/Keputusan Bupati untuk hutan adat yang berada di luar kawasan hutan.

“Sampai dengan akhir 2018, baru 4 Kabupaten yang memiliki Perda Pengakuan Masyarakat Hukum adat, yakni Kabupaten Sanggau, Sintang, Landak dan Melawi. Proses penerbitan Perda ini di Kabupaten lainnya perlu segera didorong dalam rangka percepatan pengakuan hak wilayah adat, khususnya yang berada didalam kawasan hutan,” kata H Sutarmidji, Jumat (29/3), saat Penyerahan Sertifikat Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap kepada masyarakat dan Musyawarah Adat Besar Tiong Kandang di Ketemenggunang Desa Tae, Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau.

Dikatakannya, untuk Kabupaten Sanggau sendiri, hingga saat ini telah diterbitlan sebanyak 15 akses kelola perhutanan sosial dengan total luasan 12.104,68 ha. Adapun perizinan perhutanan sosial terdiri dari 10 nit HKM dengan luas 8.465,00 ha, 3 unit HTR dengan luas 799,68 ha dan 2
unit diantarannya merupakan hutan adat dengan luas mencapai 2.840,00 ha.
Pembangunan pedesaan merupakan salah satu fokus utama Pemprov Kalbar dalam rangka mendongkrak IPM yang saat ini berada pada angka 66 persen.

Angka ini masih cukup jauh dari rata-rat IPM Nasional yang berada pada kisaran 70-71% sehingga menempatkan Kalbar pada peringkat 29 dari 34 Provinsi se-Indonesia.

“Dari 2.036 desa yang berada di Provinsi Kalbar, baru satu desa yang berkategori Desa Mandiri yakni di Desa Sutera di Kabupaten Kayong Utara. Ini berarti, sebagian desa di Kalbar berstatus tertinggal dan sangat tertinggal,” jelasnya.

Fakta menunjukan bahwa ketertinggalan atau tingginya angka kemiskinan di wilayah perdesaan dipicu rendah akses masyarakat kepemilikan dan penguasa lahan. Keterbatasan akses terhadap lahan tersebut telah memicu semakin banyaknya konflik terkait tenurial.

 

Menyikapi hal tersebut, maka Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) sebagai agenda prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah.

“Kebijakan RAPS ini dicanangkan sebagai langkah untuk memberikan akses legal kepada masyarakat terhadap hutan dan lahan dalam rangka pemerataan ekonomi
dan mengurangi kesenjangan pembangunan,” jelasnya.

Kebijakan RAPS juga diselenggarakan dalam rangka mengatasi ketimpangan dan penyelesaian kasus agraria, termasuk untuk mengatasi kemiskinan di perdesaan
dan memperluas akses kredit untuk rakyat.

Melalui program perhutanan sosial masyarakat diberikan peluang untuk mengelola sumberdaya hutan secara sah dengan skema Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Hak/Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.

Program perhutanan sosial sendiri digalakkan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya
yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan. Kebijakan ini didasari fakta bahwa sebagian lahan kelola masyarakat berada pada kawasan hutan sehingga
aktivitas masyarakat dianggap “illegal” dan masyarakat diberi label sebagai “perambah”.

Berdasarkan hasil telaahan yang telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar terdapat 718 desa yang terindikasi berada pada kawasan hutan. Seperti
kita ketahui bersama bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara yang tidak dapat menjadi hak milik atau disertifikatkan.

Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga terkait telah mengalokasi target nasional seluas 12,7 juta Ha untuk perhutanan sosial dan 9 juta Ha untuk reforma agraria melalui program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) hingga tahun 2019. (Lay).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

%d blogger menyukai ini: