BorneOneTV – Mantan Direktur Utama Perseroan Terbatas Sucofindo (Persero) Arief Safari mengaku tidak mengenal Setya Novanto saat proses proyek pengadaan KTP-elektronik.
KPK pada Selasa memeriksa Arief Safari sebagai saksi untuk tersangka Setya Novanto (SN) dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).
“Saya cuma ditanya mengenai Pak Setnov. Saya tidak pernah ketemu, saya tidak pernah mengenal, itu saja,” kata Arief seusai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Selasa 15 Agustus 2017.
Sementara saat ditanya soal aliran dana proyek e-KTP ke PT Sucofindo, Arief membantahnya.
“Tidak ada karena kami kan kerjanya hanya bimbingan teknis saja, pendampingan teknis,” ucap Arief.
PT Sucofindo merupakan salah satu anggota konsorsium Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dalam proyek pengadaan e-KTP.
Dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, PT Sucofindo disebut menerima sejumlah Rp8,231 miliar terkait proyek e-KTP sebesar Rp5,95 triliun itu.
KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri.
“KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan e-KTP pada Kemendagri,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin 17 Agustus 2017.
Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (arah)