BorneOneTV – Harapan mengumpulkan keuntungan demi membantu masyarakat dan menambah pundi-pundi keuangan negara dari sector pekerbunan sawit skala besar hanya menjadi harapan dalam hal ini adalah PTPN XIII yang di tahun 2015 memiliki luas kebun sawit 67.440,62 hektar .
Direktur eksekutif Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-Ar) Borneo, Agus Sutomo melalui keterangan tertulisnya yang diterima BorneoOneTv.com, Kamis 17 Agustus 2017 mengatakan, dalam waktu beberapa tahun terakhir ini, banyak masalah yang timbul, mulai dari masalah buruh yang tidak dibayar upahnya, pembelian Tandan Buah Segar (TBS) petani mitra yang di bawah harga pasar sesuai dengan pergub 86 tahun 2015.
“Masalah-masalah tersebut dapat meyebabkan kerugian bagi masyarakat dan tentunya juga akan berdampak pada pendapatan perusahan dan negara tentunya, selain itu juga citra Perusahaan perkebuan sawit PTPN XIII, yang akan membuat perusahan mitra seperti Wilmar, Musi mas, PT Palm Mas Asri dan perusahan lainya yang menjadi bayer PTPN XIII,” papar Tomo.
“Tidak saja masalah social yang ditimbulkan oleh PTPN XIII namun juga aspek kehutanan indikasi bahwa perusahan membuka kawasan hutan Lindung dan kerja di luar IUP no surat 525/2013/Hutbun.c tertanggal 2 juli 2015 teguran kepada PTPN XIII kebun kembayan 2 kab Sanggau,” sambungnya.
Tomo memaparkan, Indikasi pembukaan kawasan hutan Lindung oleh PTPN XIII, Wilmar sebagai perusahan go public memiliki kebijakan tidak ada konflik, tidak membuka lahan dengan membakar dan tidak membuka kawasan hutan seyogyanya juga menjadai catatan PTPN XIII, dimana PTPN XIII menjual CPO dan lainya ke PT.wilmar Cahaya Indonesia TBK , dan PT. Wilmar Nabati Indonesia.
“Indikasi terjadi konflik dengan masyarakat dan buruh serta membuka kawasan hutan lindung dapat berdampak pada PT Wilmar tbk. Kemudian kerugian negara dari pembukaan kawasan hutan lindung yang memilik tegakkan kayu yang besar,” ungkapnya.
Ia menegaskan, pemerintah kabupaten dan provinsi harus menindak PTPN XIII tegas terhadap pelanggaran yang di lakukan seperti pelanggaran Pergub no 86 th 2015 yang merugikan petani sawit dan menghitung kerugian negara karena berkerja di luar IUP.
Selain itu LHKL baik pusat dan daerah yang berkerja menjaga kawasan hutan juga harus bertindak tegas atas indikasi pelanggaran membuka kawasan hutan lindung untuk perkebunan sawit skala besar.
“Jangan kemudian masyarakat adat dan petani yang bergantung hidup dengan hutan yang di larang melakukan pemanfaatan hutan yang di tetapkan menjadi kawasan hutan yang mana dapat berujung tindakkan hukum terhadap masyarakat adat dan petani,” sebutnya.
Penegakkan hukum terhadap perusahan-perusahaan yang melaggar aturan harus ditunjukan secara tegas oleh pemerintah ketika akan menjadikan perkebunan sawit yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial. (Bgs)