Ike Farida: Polda Metro Jaya Harus Perbaiki Sistem Laman Informatika Agar Tidak Melanggar HAM dan Perkap No.6 Tahun 2019

Ike Farida didampingi Kamarudin Simanjuntak sedang memberikan keterangan kepada wartawan di Unit 5 Jatanras Direskrimum Polda Metro, Rabu (18/01/2023)
banner 120x600

Jakarta, borneonetv.com – Ike Farida harap POLRI perbaiki sistem IT-nya agar websitenya tidak kalah dengan online shopping. Pasca pemberian keterangan di Polda sejak Rabu 18 Januari 2023 lalu atas laporan yang dilakukan oleh pengembang PT EPH terhadap Ike  Farida sebagai salah satu konsumen, Polda Metro Jaya tidak juga menghapus namanya dari daftar pencarian orang dalam websitenya.

Kamarudin Simanjuntak salah satu kuasa hukum Ike menjelaskan bahwa Polda telah melanggar banyak aturan termasuk Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, kalau belum juga menghapus nama kliennya dari website PMJ.
“Laporan ini adalah cipta kondisi alias rekayasa pengembang, karena mereka kalah di seluruh putusan pengadilan, tapi menolak serahkan unit. Jadi agar klien kami tidak menuntut haknya, kemudian dilaporkan ke PMJ. Ini kan lucu, konsumen yang sudah bayar lunas hampir 12 tahun lalu, dimenangkan oleh semua putusan pengadilan, tapi pengembang PT EPH tetap menolak serahkan unit kepada klien kami, malah melaporkan ke PMJ. Ini laporan sama sekali tidak bermakna, tapi PMJ malah mencantumkan kliennya dalam DPO, ini sudah pelanggaran HAM terang-terangan,” tegas Kamarudin.

Kasus berawal dari Dr. Ike Farida, S.H., LL.M. yang memberi unit apartemen dari pengembang tak bertanggungjawab bernama PT EPH, anak perusahaan dari PJ Tbk Group. Setelah uang diterima, PT EPH enggan melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan unit apartemen yang telah dibeli Doktor ilmu hukum itu di Tower Avalon Apartemen Casa Grande Kota Kasablanka, Jakarta Selatan. Terhitung sejak 30 Mei 2012, Ike telah melunasi unit apartemen tersebut, namun sejak itu unit tersebut tak kunjung diterima. Awalnya alasan pengembang adalah karena Ike tidak kawin dengan WNA dan tidak punya perjanjian kawin, tapi setelah dibuat perjanjian kawin pun tetap PT EPH menolak.

Setelah Ike selidiki ternyata ditemukan banyak bukti yang membuatnya kesal, marah dan kecewa, karena menurut Kantor Badan Pertanahan Nasional dan Cipta Karya, Pemda DKI Jakarta ternyata pengembang tidak punya perijinan lengkap untuk melakukan Akta Jual Beli.
“Antara lain pertelaan atau pemecahan sertifikat, kemudian SLF (sertifikat laik fungsi). Inikan penipuan terhadap konsumen. Karena pada saat saya membeli pada 2012, apartemen tersebut sudah dihuni oleh lebih dari 80% konsumennya. Keterangan itu didapat dari marketing pengembang, yang juga mengklaim bahwa seluruh perijinan sudah ok. Karena dikatakan semua perijinan sudah ok, saya berani beli,” beber Ike.

 

Memenangkan Semua Keputusan Hukum

Sebagai gambaran, Ike telah memenangkan 4 putusan final terhadap PT EPH: putusan dari Mahkamah Konstitusi, Putusan MA RI kasus konsinyasi, putusan PK dari MA RI, dan Putusan Perlawanan di PN Jakarta Selatan. Seluruh putusan itu merupakan perintah lantang dan hukuman kepada PT EPH untuk menyerahkan unit apartemen hak milik Ike beserta dengan pembuatan AJB dan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS). Namun seluruh kepastian hukum ini justru diputarbalikkan oleh pihak Polda Metro Jaya dengan menetapkan Ike sebagai tersangka dan memasukannya ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Ike dituduh melakukan sumpah palsu oleh Penyidik Unit V Subdit IV Dirkrimum PMJ dalam Laporan Polisi No.: LP/B/4738/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya dengan tuduhan melanggar Pasal 242 KUHP. Penyidik telah keliru dalam memaknai penerapan Pasal 242 KUHP terkait dengan tuduhan memberikan keterangan palsu sebagai bukti baru (novum) dalam persidangan

Pasal tersebut umumnya digunakan sebagai tindak lanjut dari kekuasaan hakim sebagaimana ketentuan Pasal 174 KUHAP, dimana yang memiliki wewenang untuk melakukan penilaian terhadap sumpah palsu adalah Hakim Ketua, bukan Kepolisian atau pengembang PT EPH.

Dalam semua putusan yang ditempuh, seluruhnya dimenangkan oleh Ike, dan pengembang PT EPH dihukum oleh Majelis Hakim PK No. 53/2021 ada 7 hukuman untuk pengembang nakal selaku Tergugat ini yakni:
(1) Menghukum Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini;
(2) Menghukum Tergugat memproses dan melakukan penandatanganan PPJB Apartemen;
(3) Menghukum Tergugat memproses dan melakukan penandatanganan AJB;
(4) Menghukum Tergugat menyerahkan asli surat Apartemen berikut surat pendukung lainnya;
(5) Menghukum Tergugat menyerahkan Apartemen berikut kunci-kuncinya;
(6) Menghukum Tergugat menyerahkan sertifikat kepemilikan atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
(7) Menghukum Tergugat membayar biaya perkara.

Kamaruddin Simanjuntak, menyatakan bahwa kliennya sangat tegar dan tegas, meskipun difitnah dan dikriminalisasi, Doktor jebolan FHUI itu tidak pernah berhenti menyurati seluruh institusi POLRI dan institusi lainnya meminta penegakkan dan perlindungan hukum karena dirinya tidak melakukan sumpah palsu atau melakukan pemalsuan dokumen.
“Surat-surat kami masih belum mendapatkan respon positif dari pihak POLRI, mungkin mereka masih sibuk kasus Ferdi Sambo,” jelasnya.

Kamarudin menambahkan bahwa putusan pengadilan adalah produk negara, dikeluarkan oleh lembaga yuridis yang sah. Putusan tersebut harus dipatuhi oleh pengembang PT EPH, karena itu putusan negara.
“Jadi kalau tidak mau patuh pada keputusan Negara Republik Indonesia, saya persilahkan untuk keluar saja dari Indonesia” tegas Kamarudin.

Didampingi Kamarudin Simanjuntak, Ike mendatangi Unit 5 Jatanras Direskrimum Polda Metro pada Rabu, 18 Januari 2023 untuk memberikan klarifikasi, tambahan bukti dan mempertanyakan status tersangka dan DPO-nya. Karena alasan penetapan status tersangka dan DPO dari Ike tidak memiliki dasar yang jelas selain adanya dugaan keberpihakan pihak kepolisian pada sang mafia tanah.
“Mereka tak mampu memberikan jawaban yang jelas untuk pertanyaan yang Ike berikan. Seharusnya sejak 18 Januari 2023 PMJ harus memperbarui laman websitenya, tapi hingga 20 Januari 2023 ternyata status DPO-nya tak kunjung dicabut dari laman milik PMJ. Karena sangat merugikan klien kami,” sambung Kamarudin.

Tidak dicabutnya status DPO Ike mencerminkan bahwa sistem informasi teknologi PMJ masih tertinggal. Terlambatnya sistem tersebut dapat berdampak pada pelanggaran HAM dan Perkap nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Tak seharusnya Ike memohon hal sedasar hak mendapatkan kenyamanan untuk hidup atas kelalaian dari pihak PMJ. Mengkhianati dan mempermainkan hukum serta mengkriminalkan orang yang tidak bersalah harus segera dihentikan agar tidak ada lagi masyarakat yang dirugikan dan dijadikan korban.
“Ini klien kami adalah seorang advokat dan doktor ilmu hukum saja diperlakukan seperti ini oleh Polda Metro Jaya, bagaimana jika yang dijadikan korban adalah nelayan atau petani atau masyarakat yang tidak punya uang, tentunya lebih mengerikan,” ucap Kamaruddin.

Ia menyatakan agar institusi Polri kembali kepada amanah mulianya untuk melindungi masyarakat pencari keadilan, tanpa membedakan apakah ia orang miskin atau konglomerat. [Adang]

%d blogger menyukai ini: